Archive for Dunia Pendidikan

Model-model pembelajaran

Sistem pembelajaran sosial sangat terkait dengan sistem lingkungan belajar peserta didik. karena sistem sosial berfokus pada interaksi dengan orang lain, atau pengalaman interpersonal. Hubungan fasilitator (guru) – pembelajar (peserta didik)merupakan hal yang sangat penting untuk terwujudnya kondisi belajar yang mengoptimalkan potensi peserta didik. Sebagai seorang guru atau fasilitator, tanggung jawab utama kita adalah memberi iklim psikoligis dan fisik yang positif sehingga dapat mengorkestrasikan pembelajaran yang merupakan bagian utama dari pengembangan iklim emosional, intelektual dan sosial.
Dalam keadaan demikian guru berkolaborasi dengan siswa sebagai mitra setara dalam petualangan memecahkan masalah, alih-alih sebagai gudang informasi yang menyimpan dan membagikan jawaban atas semua masalah. Dengan keadaan seperti ini, maka sistem sosial otak akan belajar berkontrribusi terhadap pengambilan keputusan nyata oleh orang-orang lintas usia(guru-murid), ras, budaya, etnis, kemampuan intelektual, dan kecakapan akademis. Sekaligus mereka (peserta didik) belajar memandang perbedaan sebagai suatu kelebihan diantara mereka. Di sinilah akan terlihat suatu nilai bahwa peran guru sangat penting dalam meningkatkan toleransi dan pemahaman akan perbedaan.
Dalam model pembelajaran sosial terdapat beberapa model pembelajaran di antaranya:

A. MODEL PEMBELAJARAN YANG BERWAWASAN MASYARAKAT

1. Model Pembelajaran Partisipatif
a. Konsep Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Partisipasi pada tahap perencanaan adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi yang tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran.
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Dimana salah satu iklim yang kondusif untuk kegiatan belajar adalah pembinaan hubungan antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling belajar.
Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil dan dampak pembelajaran.

b. Ciri-ciri Pembelajaran Partisipatif
Berdasarkan pada pengertian pembelajaran partisipatif yaitu upaya untuk mengikutsertakan peserta didik dalam pembelajaran, maka ciri-ciri dalam kegiatan pembelajaran partisipatif adalah :
1) Pendidik menempatkan diri pada kedudukan tidak serba mengetahui terhadap semua bahan ajar.
2) Pendidik memainkan peran untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
3) Pendidik melakukan motivasi terhadap peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.
4) Pendidik menempatkan dirinya sebagai peserta didik.
5) Pendidik bersama peserta didik saling belajar.
6) Pendidik membantu peserta didik untuk menciptakan situasi belajar yang kondusif.
7) Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran kelompok.
8) Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi.
9) Pendidik mendorong peserta didik untuk berupaya memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.

c. Peran Pendidikan Dalam Pembelajaran
Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranan pendidik dalam pembelajaran.
Pada awal pembelajaran intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan pembelajaran, tetapi makin lama makin menurun intensitas perannya digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran :
1) Membantu peserta didik dalam menciptakan iklim belajar
2) Membantu peserta didik dalam menyusun kelompok belajar.
3) Membantu peserta didik dalam mendiagnosis kebutuhan pelajar.
4) Membantu peserta didik dalam menyusun tujuan belajar
5) Membantu peserta didik dalam merancang pengalaman belajar
6) Membantu peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
7) Membantu peserta didik dalam penilaian hasil, proses dan pengaruh kegiatan pembelajaran.

2. Model Pendekatan Pembelajaran
a. Konsep Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar dilihat dari proses transfer belajar, lingkungan belajar.
Dilihat dari proses, belajar tidak hanya sekedar menghapal. Dari transfer belajar, siswa belajar dai mengalami sendiri, bukan pemberian dari orang lain. Dan dilihat dari lingkungan belajar, bahwa belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
Pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan upaya pendidik untuk menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik melakukan hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dalam penerapan pembelajaran kontekstual tidak lepas dari landasan filosofisnya, yaitu aliran konstruktivisme. Aliran ini melihat pengalaman langsung peserta didik (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran.

b. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Konvensional
Karakteristik model pembelajaran kontekstual dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1) Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran
2) Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
3) Pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata atau masalah
4) Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
5) Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman
6) Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan.
7) Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni peserta didik diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.
Karakteristik model pembelajaran konvensional dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1) Siswa adalah penerima informasi
2) Siswa cenderung belajar secara individual
3) Pembelajaran cenderung abstrak dan teori
4) Perilaku dibangun atas kebiasaan
5) Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan
6) Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman
7) Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural
Pembelajaran kontekstual memiliki perbedaan dengan pembelajaran konvensional, tekanan perbedaannya yaitu pembelajaran kontekstual lebih bersifat student centered (berpusat kepada peserta didik) dengan proses pembelajarannya berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekajar dan mengalami. Sedangkan pembelajaran konvensional lebih cenderung teacher centered (berpusat kepada pendidik), yang dalam proses pembelajarannya siswa lebih banyak menerima informasi bersifat abstrak dan teoritis.

c. Komponen-komponen Pembelajaran Kontekstual
Peranan pendekatan pembelajaran kontekstual di kelas dapat didasarkan pada tujuh komponen, yaitu :
1) Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia didalam dirinya sedikit demi sedikit, yang hasilnya dapat diperluas melalui konteks yang terbatas.
2) Pencairan (inquiry)
Menemukan merupakan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa merupakan hasil dari penemuan siswa itu sendiri.
3) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan awal dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiriy, yaitu untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah atau lebih, yaitu antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan pendidik apabila diperlukan atau komunikasi antara kelompok.
5) Pemodelan (Modeling)
Model dapat dirancang dengan melibatkan guru, siswa atau didatangkan dari luar sesuai dengan kebutuhan. Dengan pemodelan, siswa dapat mengamati berbagai tindakan yang dilakukan oleh model tersebut.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang sesuatu yang sudah dipelajari. Realisasi dari refleksi dalam pembelajaran dapat berupa:
a. Pernyataan langsung tentang sesuatu yang sudah diperoleh siswa
b. Kesan dan pesan/saran siswa tentang pembelajaran yang sudah diterimanya
c. Hasil karya
• Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Assessment merupakan proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Assessment menekankan pada proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic assessment, yaitu :
a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
Berlangsung
b. Dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif
c. Yang diukur adalah keterampilan dan penampilan bukan mengingat fakta
d. Berkesinambungan
e. Terintegrasi
f. Dapat digunakan sebagai feed back

3. Model Pembelajaran Mandiri

a. Konsep Pembelajaran Mandiri
Dalam rangka menuju kedewasaan, seorang anak harus dilatih untuk belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan suatu proses, dimana individu mengalami inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain.
1) Dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain
2) Dapat menumbuhkan proses alamiah perkembangan jiwa
3) Dapat menumbuhkan tanggung jawab pada peserta didik
Berdasarkan hal tersebut pendidik bukan sebagai pihak yang menentukan segala-galanya dalam pembelajaran, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau sebagai teman peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Belajar Mandiri
Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu :
1) Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatas oleh waktu, tempat dan usia
2) Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik
3) Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.
4) Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.
5) Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.
6) Memiliki orientasi ke masa depan. Seseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.
7) Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.

c. Peran Pendidik Dalam Belajar Mandiri
Dalam pembelajaran mandiri, tutor berperan sebagai fasilitator dan teman bagi peserta didik. Sebagai fasilitator, pendidik dapat membantu peserta didik dalam mengakrabi masalah yang dihadapi peserta didik, dan berupaya agar peserta didik dapat menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya.
Peran lain yang harus dilakukan pendidik adalah sebagai teman. Pendidik berusaha menempatkan dirinya sama dengan peserta didik sebagai peserta yang mengharapkan nilai tambah dalam kehidupannya untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi, serta mengaktualisasikan dirinya.

B. KELOMPOK MODEL INTERAKSI SOSIAL
Model interaksi sosial adalah suatu odel pembelajaran yang beranjak dari pandangan bahwa segala hal sesuatu tidak terlepas dari realitas kehidupan, individu tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Karena itu proses pembelajaran harus dapat menjadi wahana untuk mempersiapkan siswa agar dapat berinteraksi secara luas dengan masyarakat.kelompok model-model sosial ini dirancang dengan memanfaatkan kerjasama antara siswa melalui berbagai bentuk kegiatan nyata aktivitas pembelajaran baik yang dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas. Kelompok model interaksi sosial ini meliputi sejumlah model yaitu:
1. Investigasi kelompok
Investigasi kelompok merupakan wahana untuk mendorong dan membimbing keterlibatan siswa di dalam proses pembelajaran. Sebagaimana diketahui bahwa keterlibatan siswa di dalam proses pembelajaran merupakan hal yang sangat esensial, karena siswa adalah sentral dari keseluruhan kegiatan pembelajaran.
Dalam pandangan Tsoi, Goh dan Chia (2001), model investigasi kelompok secara filosofis beranjak dari paradigma konstruktivis, dimana terdapat suatu situasi yang didalamnya siswa-siswa berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan berbagai informasi dan melakukan pekerjaan sevara kolaboratif untuk menginvestigasi suatu masalah, merencanakan, mempresentasikan serta mengevaluasikegiatan mereka. Karena itu model ini sangat sesuai untuk merespon kebutuhan-kebutuhan siswa akan pentingnya pengembangan kemampuan collaborative learning melalui kerja kelompok beranjak dari pengalaman masing-masing siswa guna mewujudkan interaksi sosial yang lebih baik.
2. Bermain Peran
Model ini dirancang khususnya untuk membantu siswa mempelajari nilai-nilai sosial dan moral dan pencerminannya dalam perilaku. Di samping itu model ini digunakan pula untuk membantu para siswa mengumpulkan dan mengorganisasikan isu-isu moral dan sosial, mengembangkan empati terhadap orang lain, dan berupaya memperbaiki keterampilan sosial. Sebagai model mengajar, model ini mencoba membantu individu untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial dan berupaya memecahkan dilema-dilema sosial dengan bantuan kelompok.
Jika ditelaah dari esensinya, model bermain peran lebih menitikberatkan keterlibatan partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata serta berusaha mengatasinya. Shaftel, dalam sebuah buku yang berjudul “Role Playing for Social Studies”, yang dibahas kembali oleh Sumantri dan Permana (1998/1999) menyarankan 9 langkah penerapan Role Playing di dalam penerapannya yaitu:
a. Membangkitkan semangat kelompok, memperkenalkan siswa dengan masalah sehingga mereka mengenalnya sebagai suatu bidang yang harus dipelajari
b. Pemilihan peserta, dimana guru dan siswa menggambarkan berbagai karakter/bagaimana rupanya, bagaimana rasanya, dan apa yang mungkin mereka kumukakan.
c. Menentukan arena panggung
d. Mempersiapkan pengama
e. Pelaksanaan kegiatan
f. Berdiskusi dan mengevaluasi
g. Melakukan lagi permainan peran
h. Berdiskusi dan evaluasi lagi
i. Berbagi pengalaman dan generalisasi

3. Model Penelitian Yurisprudensi
Pada dasarnya metode ini merupakan metode studi kasus dalam proses peradilan dan selanjutnya diterapkan dalam suasana belajar disekolah. Dalam model ini para siswa sengaja dilibatkan dalam masalah-masalah sosial yang menuntut pembuatan kebijakan pemerintah yang diperlukan serta berbagai pilihan untuk mengatasi isu tersebut, misalnya tentang konflik moral. Model ini bertujuan membantu siswa belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu muahir. Para siswa dituntut merumuskan isu-isu tersebut dan menganalisis pemikiran-pemikiran alternatif. Model ini potensial untuk digunakan dalam bidang studi yang membahas isu-isu kebijaksanaan umum, termasuk konflik moral dalam kehidupan sehari-hari.

Leave a comment »

Teori-teori belajar

1. TEORI DISIPLIN MENTAL
Dari sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa teori belajar diantaranya teori disiplin mental. Hingga sekarang teori tersebut masih dapat dirasakan di beberapa sekolah. Teori disiplin mental menganggap bahwa dalam belajar anak harus didisiplinkan dan dilatih. Ketika ada seorang pendidik ingin mengajar anak membaca, maka mula-mula pendidik memberikan daftar kata yang diinginkannya dengan menggunakan kartu dimana tertulis setiap kata itu, kemudian pendidik melatih anak-anak mereka, dan setiap hari diberi tes, dan siswa yang belum pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi, menurutnya, kalau anak dilatih banyak mengulang-ngulang menghafal sesuatu, maka ia akan ingat terus mengani hal itu.
2. TEORI BEHAVIORISME
Rumpun teori ini disebut Behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tinggkah laku yang dapat diamati. Tokohnya E.L Thorndike, Ivan Patrovich Pavlov, B.F Skinner, Clark C. Hull. Temuan penelitian para ahli ini dalam prinsipnya mempunyai kesamaan, yaitu bahwa perubahan tingkah laku terjadi karena semata-mata oleh lingkungan. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molecular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsure-unsur seperti halnya molekul-molekul. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang jawaban atau Stimulus Respons. Belajar adalah pembentukan hubungan Stimulus Respons sebanyak-banyaknya. Pembentukan hubungan Stimulus Respons dilakukan melalui ulangan-ulangan. Adapun ciri-ciri aliran Behaviorisme ini adalah :
a) Memerintahkan pengaruh lingkungannya
b) Mementingkan bagian-bagian daripada keseluruhannya
c) Mementingkan reaksi atau psikomotor
d) Mementingkan sebab-sebab masa lampau
e) Mengutamakan mekanisme terjadinya hasil belajar
f) Mementingkan pembentukan kebiasaan
g) Mengutamakan “trial and error”

Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun Behavionisme ini antara lain :
a) Teori Koneksionisme
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun Berhaviorisme. Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Trhorndike (1874-1949). Menurut thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan.
Selanjutnya dalam teori koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1) Hukum kesiapan ( Low Of Readiness )
Hukum readiness mengatakan individu yang siap untuk merespon serta merespon akan menghasilkan respon yang memuaskan.
2) Hukum latihan ( Low Of Exercise )
Hukum efek mengatakan bahwa reaksi-reaksi yang membawa kepuasan akan lebih mudah dihubungkan dengan suatu situasi. Sebaliknya, reaksi-reaksi yang tidak membawa kepuasan akan tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan situasinya.
3) Hukum akibat ( Low Of Effect )
Hukum latihan menyatakan bahwa perulangan kegiatan menguatkan hubungannya antara reaksi dengan situasinya oleh Thorndike, situasi rangsang lingkungan yang aktuil.
b) Teori Pengkondisian ( conditioning )
Teori pengkondisian merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori Koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov, Watson, dan Gutrie. Ia adalah ahli Psikologi Refleksiologi dari Rusia. Sebagaiman dijelaskan oleh Hendry C Ellis, bahwa dalam prosedur penelitiannya Pavlov menggunakan laboratorium binatang sebagai tempat penelitian. Sama halnya dengan Thorndike, dia juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.
1) Teori Conditioning dari Pavlov
Dalam teori ini Pavlov mengadakan percobaan dengan menggunakan obyek yaitu anjing. Secara singkat adalah sebagai berikut: Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga saluran kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya, dimasukan kedalam kamar gelap. Dikamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah itu disambungkan sebuah pipa yang dihubungkan dengan sebuah tabung diluar kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu diadakan percobaan, alat-alat yang digunakan dalam percobaan itu antara lain makanan, lampu senter, dan sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov mendapat kesimpulan bahwa gerakan-gerakan reflek itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan latihan, sehingga dari hasil ini ia membedakan 2 macam refleks, yaitu refleks bawaan dan refleks hasil belajar. Sebenarnya hasil-hasil percobaan Pavlov dalam hubungannya dengan belajar yang kita perlukan sekarang ini adalah tidak begitu penting. Mungkin beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan belajar yang perlu diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam belajar perlu adanya latihan-latihan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat pada diri dapat mempengaruhi dan bahkan mengganggu proses belajar yang bersifat skill.
2) Teori Conditioning Watson
Watson mengadakan percobaan dengan menggunakan seekor tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya, ia menarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Watson mula-mula tidak takut pada kelinci dilatih sehingga takut pada kelinci. Kemudian anak itu dilatih lagi sehingga menjadi tidak takt lagi pada kelinci. Demikian maka menurut teori conditining, belajar itu adalah sebuah proses perubahan yang terjadi karena syarat-syarat yang kemudian menimbulkan reaksi.
Untuk menjadikan seseorang itu belajar, haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori kondisioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinyu. Yang diutamakan dalam teori ini adalah hal belajar yang terjadi secara otomatis. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil dari kondisioning, yaitu hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap perangsang perangsang tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya. Kelemahan daripada teori ini adalah teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan pencetaan pribadi dalam diri tidak dihiraukannya.
Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu manusia tidak semata-mata tergantung pengaruh dari luar atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dab reaksi apa yang akan dilakukan.
3) Teori Conditioning Gutrie
Gutrie mengatakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai serangkaian tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Didalam rangkaian tersebut unit-unit tingkah laku itu merupakan reaksi terhadap perangsang sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi stimulus pula yang kemudian reaksi/respon bagi unit tingkah laku berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga serangkaian unit-unit tingkah laku yang berikutnya. Jika dalam proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu sama lain saling berurutan. Ulangan atau latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang tercepat antara unit tingkah laku yang satu dengan unti tingkah laku berikutnya.
Berikut ini adalah contoh sebagai penjelasan seorang ibu datang menanyakan kepada Gutrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan pakaiannya ke sudut kamarnya. Kemudian ganti pakaian dan terusmakan tanpa meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah disediakan untyk itu. Teguran-teguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaiannya pada tempatnya hanya berlaku satu atau dua hari saja, sesudah itu kebiasaan yang buruk berulang lagi. Gutrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut: teguran itu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak selesai makan, tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang tasnya keluar rumah, kemudian begitu masuk rumah anak tersebut langsung disuruh menggantungkan tas dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi proses berlangsungnya unit-unit tingkah laku itu harus diulang dari mula.

Metode-metode Gutrie
Beberapa metode yang dipergunakan Gutrie dalam mengubah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan pada hewan maupun pada manusia adalah:
a. Metode Reaksi Berlawanan (incompatible respose method)
Manusia itu adalah suatu organisme yang selalu mereaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu. Jika suatu reaksi terhadap perangsang-perangsang telah menjadi suatu kebiasaan, maka cara untuk mengubahnya ialah dengan jalan menghubungi perangsang (stimulus) dengan reaksi (response) yang berlawanan dengan reaksi buruk yang hendak dihilangkan. Sebagai contoh, umpamanya seorang anak takut kepada kelinci. Waktu anak itu sedang memngalami takutnya kepada kelinci, berilah anak itu makanan yang disukainya supaya merasa senang.lakukanlah hal ini berkali-kali sehingga anak itu tidak takut lagi kepada kelinci.
b. Metode Membosankan (Exhaustion Method)
Hubungan atau asosiasi perangsang dan reaksi (S-R) pada tingkah laku yang buruk itu dibiarkan saja sampai lama mengalami perbuatan semacam itu, sehingga menjadi bosan. Sebagai contoh, umpamakan seorang anak yang berumur tiga tahun bermain-main dengan korek api. Pada waktu itu juga disuruh menghabiskan pentol-korek api satu pak sehingga menjadi bosan. Dan sesudah itu ia tak mau lagi bermain api.
c. Metode Mengubah Lingkungan (Change of Environment Method)
Ialah suatu metode yang dilakukan dengan jalan memutuskan atau memindahkan hubungan antara S dan R yang buruk yang akan dihilangkan. Atau dengan kata lain, menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang disebabkan oleh suatu perangsang (S) dengan merubah perangsang itu sendiri, misalnya: mengubah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan seorang anak itu kesekolah lain.
c) Teori Penguatan ( Reinforcement )
Kalau teori pengkondisian yang diberi kondisi adalah perangsangannya, maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya.
d) Teori Operant Conditioning
Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner memandang bahwa teori Pavlov tentang reflek berhasrat hanya tempat untuk menyatakan tingkah laku respon . tingkah laku respon yang terjadi dari suatu rangsangan. Skinner mendapatkan tingkah laku yang spesifik ditunjukan pada perangsan lingkungan yang diistilahkanya ‘’operan behavior’’. Oleh sebab itu teorinya disebut ‘’operant behavior conditioning .’’ percobaanya ‘’operant conditioning’’ atau instrumental conditioning’’
Percobaan dengan kotak yang ada pengungkitnya yang dapat tertekan dan mengeluarkan sedikit makanan /minuman yang jatuh atau tumpah pada ruang penyelidikan. Beberapa konsep yang berhubungan dengan operant conditioning:
1) Positive and negative reinforment. Baik reinforcer positif maupun reinforcer negatif keduanya dihubungkan dengan ditambahkan pertambahan tingkah laku yang sedang diperkuat. Yang dimaksud reinforce positif ialah penguatan yang menimbulkan kemungkinan untuk bertambah tingkah laku. Sedangkan negatif reinforce menunjuk berakhir suatu kejadian.
2) Shaping. Konsep yang menunjukan kepada proses tingkah laku suatu organisme yang makin lama makin dekat dengan tingkah laku yang diharapkan oleh pencoba.
3) Succestive approximation. Konsep yag menggambarkan teknik pembentukan tingkah laku. Dengan cara mengunakan reinforcement pada waktu yang tepat, pencoba akan dapat merubah respons yang sedang ia kondisikan.
4) Extinction. Konsep yang mengatakan bahwa jika reinforcement tidak ada maka terjadi pengurangan tingkah laku dan extinction akan terjadi terus menerus jika tidak ada reinforcement.
5) Chaining. Merangkaikan hubungan stimulus/response dimana suatu response akan menghasilkan berikutnya.
6) Schedule of reinforcement
a) fixed ratio schedule. Ratio disini menunjukan jumlah response, Fised ratio reinforcement bearti penetapan response yang dikehendaki dalam percobaan untuk memberikan hadiah.

b) Variable ratio schedule. Binatang coba diberikan hadiah pada jumlah response yang bervariasi , misalnya setiap tiga,lima, tujuh kali response atau berurutan variasi lain, schedule ini didasarkan atas usaha maksimal dari binatang coba.
c) Fixed interval schedule. Binatang diberi hadiah dalam jarak waktu tertentu , misalnya setiap lima detik , sepanjang hal itu untuk meresponse
d) Variable interval schedule. Binatang coba diberi hadiah pada variasi waktu, misalnya pada detik ke tiga, ke lima, ke lima, dan semacamnya. Salah atu keuntunganya dari continius schedule ialah pengondisian respon lebih cepat terjadi

Kerugianya metode Schedule of reinforcement ialah Jika reincoment dihentikan , maka extinction akan cepat terjadi. Sedangkan keuntungan dari variable schedule walaupun proses conditioning berjalan lama respon telah terkondisikan akan tahan lama untuk extinction.

e) Purposive Behavorisme Dari Tolman
Tolman telah mengembangkan teori yang dapat dipandang sebagai rantai penghubung antara aliran behaviorism dan teori gestalt dan mengawinkan keuntungan dari keduanya. Tolman menolak konsep reinforcement dalam hubunganya proses belajar. Dalam membedakan antara belajar dengan tingkah laku , ia berpendirian bahwa belajar terdiri berpasangan stimulus atau berasosiasi stimulus .
Tolman mengunakan istilah significant (nama dengan reconditioned stimulus pada Thorndike) dan sign (conditioned stimulus thorndike) yang dipakai menjelaskan peristiwa stimulus suatu response yang significant jika dihubungkan dengan sign maka aka nada ikatan dengan sign. Kemudian sign akan mjemimpin hewan coba mengharapkan timbul response yang significant ( misalnya makanan pada percobaan Pavlov). Tingkah laku kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu . binatang coba mengikuti sign dengan harapan dapat memperoleh suatu tujuan.
Bagi Tolman, belajar dapat terjadi dari setiap performance yang berbareng . inilah yang disebut ‘’latent learning”. Menurut Tolman, motivasi itu mempengaruhi belajar.
f) Teori belajar menurut Clark C. Hull
Dalam teorinya ia mengatakan bahwa suatu kebutuhan harus ada pada diri seseorang yang sedang belajar, kebutuhan itu dapat berupa motif, maksud, ambisi, atau aspirasi. Dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar individu.
Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang. Jadi pada diri seseorang harus ada motif sebelum belajar terjadi atau dilakukan.
g) Modern Social Learning Theory Dari Bandura
Bandura dkk telah mengembangkan teori Social Learning yang didasarkan pada prinsip imitation and modeling. Bandura memperkenalkan No Trial Learning-Learning by Observation. Proses belajar dalam Social Learning terjadi sebagai berikut: seorang anak mengamati model melakukan beberapa kegiatan, jika anak itu diberi kesempatan untuk melakukan beberapa kegiatan dan hal yang sama, pasti anak akan bertingkah laku dengan cara yang sama (proses imitasi = peniruan).
Hasil studi Bandura dalam hal ini sebagai berikut: ada 2 kelompok anak. Kelompok pertama diberi kesempatan melihat perilaku model, yaitu sekelompok orang dewasa yang beramai-ramai menyerbu boneka yang baru. Kelompok kedua tidak diberi kesempatan melihat perilaku model. Setelah kedua kelompok dimasukkan ke dalam ruangan yang berisi boneka, maka kelompok pertama secara beramai-ramai menyerbu boneka lucu, sementara kelompok kedua tidak. Reinforcement model nampaknya mendorong kea rah tingkah laku yang lebih tinggi, namun cara ini tidak mendorong untuk belajar baru. Jelas kiranya bahwa baik karakteristik penonton dan model sangat mempengaruhi derajat imitation sebagai hasil dalam social learning.

3. TEORI KOGNITIF
Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi Kognitif. Tokohnya Kohler, Max Wertheimes, Kurt Lewin, dasar teori belajar tokoh ini sama. Yaitu dalam belajar terdapat kemampuan mengenal lingkungan, sehingga lingkungan tidak otomatis mempengaruhi manusia teori ini berbeda dengan Behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalh mengetahui dan bukan respons. Teori ini menekankan pada peristiwa mental, bukan hubungan Stimulus-respons.
Teori Gestalt, berkembang dijerman dengan pendirinya yang utama adalah Max Werthaimer, menurut Gestalt belajar siswa harus memahami makna hunungan anatar satu bagian dengan bagian lainnya. Belajar adalah mencari dan mendapatkan prognanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Teori medan atau Field, menurut teori ini individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup. Dalam medan hidup ini ada suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu ada hambatan. Jadi perbedaan pandangan antara pendekatan Behavioristik dengan Kognitif adalah sebagai berikut :
a. Proses atau peristiwa belajar seseorang, bukan semata-mata antara ikatan Stimulus, Respons, melainkan juga melibatkan proses kognitif
b. Dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya misalnya belajar meniru sopan santun dimeja makan dan bertegur sapa. Peranan ranah cipta siswa tidak begitu menonjol, meskipun sesungguhnya keputusan untuk meniru atau tidak ada pada diri orang itu sendiri. Ciri-ciri aliran ini adalah :
a) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c) Mementingkn peranan kognitif
d) Mementingkan kondisi waktu sekarang
e) Mementingkan pembentukan struktur kognitif
f) Mengutamakan “in right” (pengertian)
Tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Kognitif
a) Mex Wertheirmer (1880 – 1943)
Ia adalah peletak dasar psikologi Gestalt, yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Suatu konsep terpenting dalam Psikologi Gestalt adalah tentang “insight” yaitu pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam sutu situasi permasalahan. Contoh insight seperti pernyataan spontan “aha” atau “ooh” atau I see now. Wertherimer menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis. Menurut pendapat Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian keseluruhan. Tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.
b) Kohler
Wolfgang kohler memperkenalkan penelitiannya yang berkaitan dengan insight learning. Teori yang menekankan akan pemahaman atas suatu proses pembelajaran. Teori ini juga mengutamakan pengertian dalam proses belajar mengajar, jadi bukan ulangan seperti halnya teori terdahulu. Dengan demikian menurut teori ini belajar merupakan perubahan kognitif (pemahaman). Belajar bukan hanya ulangan tetapi perubahan struktur pengertian. Dengan demikian teori belajar ini berhaluan pada pandangan belajar konstruktivistik. Dalam teori insight in learning terdapat trial dan error, tetapi tidak seperti tafsiran Thorndike (belajar ngabur). Dalam semua belajar didahului trial dan error. Trial dan error mempunyai peranan dalam timbulnya insight. Pada teori Thorndike tidak ada tujuan, otomatis, tanpa konsep, sedang pada Insight in learning ada tujuan dengan konsep. Insight learning dapat digunakan dalam situasi yang serupa.
EKSPERIMEN KOHLER
Untuk mendukung teorinya, Wolfgang Kohler melakukan eksperimen pada Simpanse. Eksperimen tersebut dilakukan di Pulau Canary tahun 1913 – 1920. Berikut ini adalah eksperimen yang dilakukannya:
Eksperimen I
Wolfgang Kohler membuat sebuah sangkar yang didalamnya telah disediakan sebuah tongkat. Simpanse kemudian dimasukkan dalam sangkar tersebut, dan di atas sangkar diberi buah pisang. Melihat buah pisang yang tergelantung tersebut, Simpanse berusaha untuk mengambilnya namun selalu mengalami kegagalan. Dengan demikian Simpanse mengalami sebuah problem yaitu bagaimana bisa mendapatkan buah pisang agar dapat dimakan. Karena didekatnya ada sebuah tongkat maka timbullah pengertian bahwa untuk meraih sebuah pisang harus menggunakan tongkat tersebut.
Eksperimen II
Pada eksperimen yang kedua masalah yang dihadapi oleh Simpanse masih sama yaitu bagaimana cara mengambil buah pisang. Namun di dalam sangkar tersebut diberi dua tongkat. Simpanse mengambil pisang dengan satu tongkat, namun selalu mengalami kegagalan karena buah pisang diletakkan semakin jauh di atas sangkar. Tiba-tiba muncul insight (pemahaman) dalam diri Simpanse untuk menyambung kedua tongkat tersebut. Dengan kedua tongkat yang disambung itu, Simpanse menggunakannya untuk mengambil buah pisang yang berada di luar sangkar. Ternyata usaha yang dilakukan oleh Simpanse ini berhasil.
Eksperimen III
Dalam eksperimen yang ketiga Wolfgang Kohler masih menggunakan sangkar, Simpanse, dan buah pisang. Namun dalam eksperimen ini di dalam sangkar diberi sebuah kotak yang kuat untuk bisa dinaiki oleh Simpanse. Pada awalnya Simpanse berusaha meraih pisang yang digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian Simpanse melihat sebuah kotak yang ada di dalam sangkar tersebut, maka timbullah insight (pemahaman) dalam diri Simpanse yakni mengambil kotak tersebut untuk ditaruh tepat dibwah pisang. Selanjutnya, Simpanse menaiki kotak dan akhirnya ia dapat meraih pisang tersebut.
Eksperimen IV
Eeksperimen yang keempat masih sama dengan eksperimen yang ketiga, yaitu buah pisang yang diletakkan di atas sangkar dengan cara agak ditinggikan, sementara di dalam sangkar diberi dua buah kotak. Semula Simpanse hanya menggunakan kotak satu untuk meraih pisang, tetapi gagal. Simpanse melihat ada satu kotak lagi di dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut dengan pisang dan kotak yang satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut, Simpanse menyusun kotak-kotak itu dan ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan akhirnya dapat meraih pisang di atas sangkar dengan tangannya.
Rumusan Teori Kohler
Dari eksperimen-eksperimen tersebut, Kohler menjelaskan bahwa Simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua hal yang relevan dengan problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan-percobaan tersebut menunjukkan Simpanse dapat memecahkan problemnya dengan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008). Insight adalah didapatkannya pemecahan problem, dimengertinya persoalan; inilah inti belajar. Jadi yang penting bukanlah mengulang-ulang hal yang harus dipelajari, tetapi mengertinya, mendapatkan insight. Proses belajar yang menggunakan insight (insightfull learning) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Insight tergantung kepada keampuan dasar. Kemampuan dasar yang dimiliki individu masing-masing berbeda-beda satu dengan yang lain. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada usia, pada usia yang masih sangat muda lebih sukar belajar dengan insight.
2) Insight tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan. Walaupun insight itu tergantung pada pengalaman masa lampau yang relevan, namun belum merupakan jaminan bahwa memiliki pengalaman masa lampau tersebut dapat memecahkan problem.
3) Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental. Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang dibutuhkan dapat diobservasi.
4) Insight didahului dengan periode mencari dan mencoba-coba. Sebelum dapat memperoleh insight orang harus sudah meninjau problemnya dari berbagai arah dan mencoba-coba memecahkannya.
5) Belajar dengan menggunakan insight itu dapat diulangi. Jika suatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan kepada peserta didik yang bersangkutan, maka dia akan langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
6) Insight yang telah terbentuk (sudah didapatkan) dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
c) Jerome S Bruner
Bruner menyatakan bahwa inti belajar adalah bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif. Menurut Bruner selama kegiatan belajar berlangsung hendakanya siswa dibiarkan untuk menemukan sendiri (discovery learning) makna segala sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam memecahkan masalah. Dengan cara tersebut diharapkan mereka mampu memahami konsep-konsep dalam bahasa mereka sendiri.
d) David Ausubel
Ia mengemukakan teori belajar yaitu teori belajar bermakna. Belajar dapat diklasifikasikan dalam dua dimensi, yaitu Dimensi yang berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan dan dimensi yang menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengabaikan informasi pada struktur kognitif yang ada. Struktur kognitif adalah fakta, konsep, dan generalisasinya yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Dalam implementasinya, teori ini terdiri dari dua fase, aitu mula-mula ia menyangkut pemberian “the organizer” atau materi pendahuluan diberikan sebelum kegiatan berlangsung dan dalam tingkat abstraksi. Fase berikutnya dimana organisasinya lebih spesifik dan terarah.
e) Field Theory Dari Lewin
Field Theory (teori medan) muncul dari studi tentang fisika dan matematika, terutama sebagai cabang matematika yaitu topologi. Lewin tidak setuju jika dalam memahami tingkah laku melalui bagian-bagian kecil. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku adalah fungsi pribadi dan lingkungannya yang dinyatakan dalam dalam rumus:
B = f (P – E), di mana:
B = Behavior P = Personality
f = function E = Environment
Teori ini menghubungkan individu dengan lingkungannya. Berarti makna psikologis yang dimiliki oleh seorang individu berada pada medan dimana makna itu diperolehnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemaknaan sebagai satu keterpaduan pribadi dan lingkungan dalam teori medan, yaitu:
a. Life Space
Hal yang termasuk life space yaitu persepsi seseorang terhadap orang lain, pengaruh kebudayaan, benda fisik, konsep-konsep dan berbagai stimulus yang bersinggungan secara psikologis dengan individu.
b. Differentiation
Sebagai konsekuensi konsep life space, maka setiap individu berkembang dalam perbedaan dan keunikannya. Life space seseorang berkembang dari sesuatu yang secara relative tidak dikenal, dan baginya merupakan daerah yang tak terjelajahi yang kemudian menjadi dimengerti lebih baik dan terorganisir.
c. Motivation
Motivasi termasuk factor-faktor yang mengarahkan kekuatan, keberanian, penguatan, daya tarik terhadap obyek tujuan daerah life space.

4. TEORI HUMANISTIK
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditunjukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Berikut adalah tokoh-tokoh penganut aliran humanistik:
a) Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b) Abraham Maslow
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut: Kebutuhan fisiologis/dasar, kebutuhan akan rasa aman dan tentram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri
c) Carl Rogers
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah:
1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
5. TEORI BELAJAR SIBERNETIK
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan teori-teori belajar lainnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah pemrosesan informasi. Teori ini lebih mementingkan sistem informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh sistem informasi dari pesan tersebut. Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Teori ini telah dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Gage dan Berliner, Biehler dan Snowman, Baine, serta Tennyson.
Bahwa proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval). Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan proses penelusuran bergerak secara hirarkis, dan informasi yang paling umum dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang diinginkan diperoleh.
Konsepsi Landa dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa untuk berpikir sistematis, tahap demi tahap, linear, menuju pada target tujuan tertentu, sedangkan belajar heuristik menuntut siswa untuk berpikir devergen, menyebar ke beberapa target tujuan sekaligus.
Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh atau wholist, dan tipe serial atau serialist. Mereke mengatakan bahwa siswa yang bertipe wholist cenderung mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal-hal yang lebih khusus, sedangkan siswa dengan tipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap atau linear.
6. TEORI BELAJAR REVOLUSI-SOSIOKULTURAL
Timbul keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya berbagai problem sosial seperti ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan yang disebabkan oleh lemahnya social capital (modal sosial) mendorong mereka yang bertanggung jawab dibidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut dalam praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat yang paling dini hingga paling tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks sosial budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kreatif, kritis dan produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah dan berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proximal development, dan mediasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.
Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps/cognitive scaffolding) yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman yang lebih berkompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan. Sedangkan anak yang mampu belajar sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya. Dengan demikian perlu pemahaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.

B. IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR
1. TEORI DISIPLIN MENTAL
Ketika ada seorang pendidik ingin mengajar anak membaca, maka mula-mula pendidik memberikan daftar kata yang diinginkannya dengan menggunakan kartu dimana tertulis setiap kata itu, kemudian pendidik melatih anak-anak mereka, dan setiap hari diberi tes, dan siswa yang belum pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi, menurutnya, kalau anak dilatih banyak mengulang-ngulang menghafal sesuatu, maka ia akan ingat terus mengani hal itu.
2. TEORI BEHAVIORISME
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berwujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Teori ini menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materinya mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil. Berikut adalah beberapa contoh aplikasi teori belajar behaviorisme menurut tokoh-tokoh antara lain :
a. Aplikasi Teori Pavlov
Contohnya yaitu pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang ditunjukkan gurunya.
b. Aplikasi Teori Thorndike
• Sebelum guru dalam kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
• Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem drill.
• Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga memberikan motivasi proses belajar mengajar.
c. Aplikasi Teori Skinner
Guru mengembalikan dan mendiskusikan pekerjaan siswa yang telah diperiksa dan dinilai sesegera mungkin.
3. APLIKASI TEORI HUMANISTIK
Belajar adalah menekankan pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatny masing-masing di depan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan.Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar.Ruang kelads lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah ,mudah menjadi tidak sabar ,suka melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan,bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
4. TEORI KOGNITIF
Hakekat belajar menrut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Berikut adalah beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam proses pembelajaran ketika menggunakan teori kognitif:
a. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mud adala proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melaui tahap-tahap tertentu.
b. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena degan hany mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
c. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru.
d. Adanya perbedaan individu pada diri siswa perlu diperhatikan.
e. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
5. TEORI BELAJAR SIBERNETIK
Aplikasi teori pengolahan informasi dalam pembelajaran antara lain dirumuskan dalam teori Gagne dan Briggs yang mempreskripkan adanya (1) kapabilitas belajar, (2) peristiwa pembelajaran, dan (3) pengorganisasian/urutan pembelajaran.
6. TEORI BELAJAR REVOLUSI-SOSIOKULTURAL
Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran perhatian guru harus dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar sendiri. Guru perlu mennyediakan berbagai jenis dan tingkat bantuan yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktifitas belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya harus sesuai dengan konteks sosio-kultural atau karakteristik anak.

Leave a comment »

Pendidikan Multikultural

1. Sejarah Pendidikan Multikultural:

a. Sebab: yaitu merujuk pada gerakan sosial orang amerika keturunan afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi pada lembaga-lembaga public pada masa perjuangan hak asasi tahun 1960

b. Akibat: meningkatkan kesadaran pada peserta didik agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.

2. Jenis-jenis multikultural:

a. Multikulturalisme Isolasionis (Kelompok ini menerima
keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya),

b. Multikulturalisme Akomodatif (kelompok ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang
sensitif secara kutural dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk  mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan),

c.Multikulturalisme Otonomis (Fokus pokok kelompok ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra yang sejajar),

d. Multikulturalisme kritikal atau interaktif  (masyarakat plural dimana
kelompok-kelompok kultural tidak terlalu fokus dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif mereka),

e. Multikulturalisme Kosmopolitan (dimana masyarakat plural berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terkait pada budaya tertentu, dan
sebaliknya secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing,

f. Multikulturalisme Demokratis (menekankan kepercayaan pada normalitas keberagaman dan penerimaan atas keberagaman itu),

g.Multikultural Religius (menekankan tidak terpisahnya agama dari negara dan tidak mentolerir adanya faham, budaya, serta orang-orang yang atheis)

3. Hambatan dalam pendidikan multikultural: keragaman identitas budaya daerah, pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, kurang kokohnya nasionalisme, fanatisme sempit, konflik kesatuan nasional dan multicultural, kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya, keberpihakan yang salah dari media massa khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa.

4. Radikalisme:

a. Sebab: Pemahaman yang keliru atau sempit tentang suatu ajaran yang dianutnya, Ketidakadilan sosial, Kemiskinan, Dendam politik dengan menjadikan ajaran yang dianutnya sebagai suatu motivasi untuk membenarkan tindakannya, Kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain, kesenjangan ekonomi dan, ketidakmampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi, tidak adanya penanaman nilai-nilai kebangsaan yang terstruktural dan sistemik

b. Bentuk: Tidak hanya dalam bentuk aksi-aksi teror dan peledakan bom, melainkan juga penyebaran pemikiran-pemikiran radikal melalui media cetak dan jaringan internet, pemikiran yang fanatik terhadap suatu ajaran, menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan

c. Cara menanggulangi: perlu adanya hukum yang jelas mengenai radikalisme, membangun sistem demokrasi dengan empat pilar bangsa, masyarakat harus mempunyai filter untuk menangkal adanya radikalisme yaitu melalui pendidikan.

5. Pendidikan multikultural dalam konteks Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.

Leave a comment »

DAMPAK KAPITALISME TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

A.    Latar Belakang

Pendidikan adalah upaya guna untuk membentuk pribadi yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas. Memang tidak dipungkiri pendidikan merupakan alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan jaminan untuk dapat hidup dan berinteraksi dalam percaturan global. Oleh karena itu, banyak orang tua yang berusaha dengan semaksimal mungkin untuk dapat menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah yang terbaik agar mendapatkan pendidikan yang terbaik pula.

Tidak bisa dilupakan pula jika ternyata masih banyak masyarakat yang tingkat kese­jahteraannya masih dibawah standar kelayakan hidup. Jangankan untuk memikirkan biaya pendidikan sekolah, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah kesusahan. Apalagi dengan biaya-biaya saat ini yang semakin tidak terjangkau lagi. Akibatnya, banyak anak yang putus sekolah dan tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan kesulitan dalam membayar biaya sekolah.

Padahal, menurut Undang-Undang dasar 1945, pasal 31 ayat 2 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Undang-undang tersebut juga dipertegas oleh Undang-Undang nomor 20 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) pasal 46 yang mengatakan bahwa “Penda­naan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, peme­rintah daerah dan masyarakat.” Hal ini berarti bahwa sumber penda­naan sekolah dan biaya pendidikan bukan hanya dibebankan kepada orang tua saja tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah juga. Pada undang-undang nomor 20/ 2003, pasal 34 ayat 2 tentang Sisdiknas pun menggariskan bahwa pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Namun, sepertinya pendidikan di Indonesia telah terjebak dalam suatu sistem kapitalisme pendidikan yaitu pendidikan dijadikan sebagai bisnis bagi para pemegang modal. Mereka membangun dan memberikan jasa pendidikan dengan kekuatan modal mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga muncul sistem permonopolian dalam pendidikan saat ini yang mengakibatkan pendidikan hanya dapat diakses oleh orang kaya sedangkan bagi orang yang kurang mampu menjadi berat dan susah.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis mengangkat judul “Dampak Kapitalisme Terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia” dan akan dibahas juga solusi yang bisa digunakandalam menghadapi dampak akibat kapitalisme dalam system pendidikan.

Baca entri selengkapnya »

Leave a comment »

Jean Jacques Rousseau


A. RIWAYAT HIDUP

           Jean Jacques Rousseau dilahirkan di geneve pada tahun 1712 dan ibunya meninggal pada waktu melahirkannya. Ayahnya seorang tukang jam. Pada waktu umur 6 tahun ia sudah gemar membaca buku-buku roman dan buku-buku klasik karangan Tacitus dan Plutarchus. Ketika berumur 10 tahun ia hidup serumah dengan domine Lombarcier, di tempat itu minatnya terhadap tumbuh-tumbuhan dan binatang mulai tumbuh. Banyak lapangan pekerjaan yang telah dimasuki, dari pelayan pindah menajdi seorang gourveneur, juru tulis dan juru music. Agaknya belum mendapatkan lapangan pekerjaan yang sungguh-sungguh cocok baginya, kemudian dipelajarinya filsafat dan agama terutama setelah ia masuk agama katolik. Bersama istrinya, Therese le vasseur, ia mencari nafkah di kalangan kaum atasan. Nampak olehnya kepalsuan hidup di paris yang merajalela pada waktu itu. Ia menentang matrealisme Hollbach.

            Rousseau mulai terkenal namanya, setelah ia mengikuti sebuah sayembara mengarang yang diadakan oleh akademi di Dijon tentang: Apakah kemajuan kesenian dan ilmu pengetahuan akan dapat memperbaiki kesusilaan?. Berlainan dengan pandangan abad ke-18, ia menyatakan: “Tidak dapat”. Ia berpendapat seperti itu karena kepalsuan dan ketidakwajaran kehidupan di paris. Sebab ia berpendapat seperti itu adalah, bahwa pembawaan manusia itu baik, dan bahwa masyarakatlah yang merusaknya. Sedangkan menurut Suparlan (1984: 50), Rousseau berpendapat “Tidak” karena manusia itu tidak akan menjadi lebih beruntung, apabila ia makin menjauhkan diri dari alam. Sehingga, “Kembali ke alam” menjadi semboyan hidupnya.

Dari tahun 1761 dan 1762 terbitlah tiga bukunya yang terbesar, yaitu:

  1. La Nouvelle Heloise (keluarga baru), yang menjelaskan kesusilaaan baru dalam perkawinan yang didasarkan pada sikap saling hormat-menghormati.
  2. Le Contract Social (Negara Baru), yang mengemukakan ilmu kenegaraan baru. Kalau masyarakat yang merusak manusia, maka masyarakat itulah yang harus diubah.
  3. Emili Ou de I’education (Pendidikan Baru). Buku ini membicarakan tentang pendidikan seseorang, yang mengemukakan bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Tetapi dalam kenyataannya anak putri dipandang kurang berharga daripada anak putra.

Ketiga buku tersebut memiliki nafas yang sama yaitu, semua manusia menurut kodratnya baik. Apabila manusia itu buruk, maka masyarakatlah yang menyebabkannya. Oleh karena itu harus diubah. Maka menjadi kewajiban setiap manusia untuk memelihara sumber daya alam yang baik agar dapat tumbuh dan berkembang.

Seperti hidupnya yang penuh dengan pertentangan, penuh dengan kegelisahan, maka buku-bukunya telah menimbulkan pertentangan-pertentangan hebat. Tidak sedikit yang memuji-menyanjungnya dan memandang sebagai kelahiran pendidikan cara baru, tetapi tidak sedikit pula yang mencela dan memaki-makinya.

Bukunya “Emile” di inggris sampai dua kali diterjemahkan, tetapi di paris dan geneve dibakar. Lodewijk XIV memerintahkan menangkapnya. Ia melarikan diri ke inggris. Disanalah ia mengarang autobiografinya “Confessions” (pengakuan).

 

Baca entri selengkapnya »

Leave a comment »

PENDIDIKAN MENOPANG SEKTOR KEHIDUPAN


 

            Proses pendidikan tidak hanya mengapresiasi sisi akademis. Pendidikan juga harus memberi ruang untuk  mengembangkan skill, keahlian, ketrampilan, hingga sense of art peserta didik. Dalam istilah lain, pendidikan harus melahirkan manusia yang sempurna atau insan kamil. Manusia seperti ini akan mampu bercipta, bercita, berasa, dan berkarsa.

Setiap satuan pendidikan harus mendesain proses pembelajaranya dengan model keberimbangan antara sisi akademis dan penguatan skill. Sebenarnya model ini lebih dekat dengan konsep pendidikan vokasional dimana anak didik didorong untuk masuk ke SMK. Namun tidak ada salahnya setiap satuan pendidikan yang lain mengembangkan hal serupa. Tentu dalam porsi, bentuk, dan metode yang disesuaikan dengan kondisi setiap satuan pendidikan.

Pendidikan mau tidak mau, juga bertanggung jawab atas ketersediaan tenaga yang trampil. Menanamkan keahlian dalam pendidikan harus dipandang sebagai penanaman nilai dan semangat, bahwa hidup harus penuh perjuangan dan untuk di butuhkan bekal yang cukup. Tidak saja ilmu pengetahuan namun juga skill dan keahlian. Kuantitas memang harus didorong untuk terus meningkat namun jangan sampai mengorbankan kualitas hasil pendidikan.

Baca entri selengkapnya »

Leave a comment »

PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL DALAM PEMBELAJARAN

dakonan

dakonan

Keberhasilan sebuah pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh tingginya pendidikan seorang pendidik. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu factor penunjang berhasilnya pembelajaran. Keterbatasan sarana dan prasarana pembelajaran dapat diatasi dengan memanfaatkan yang ada di lingkungan sekitar. Permainan tradisional daerah juga memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran.

Dalam kajian social-budaya, permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya. Dan warisan budaya memiliki keperluan untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadannya. Unsure ini merupakan sebuah sarana sosialisasi yang efektif dari nilai-nilai yang dipandang penting oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai ini kemudian dapat menjadi pedoman hidup, pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat. Mainan tradisional juga dekat dnegan alam dan memberikan kontribusi bagi pengembangan anak. Perlu kiranya pengkajian yang lenih mendalam tentang manfaat yang dapat diperoleh melalui permainan tradisional baik secara kognitif, psikologis, maupun social. Permainan tradisional yang cukup beragam itu perlu digali dan dikembangkan karena mengandung nilai-nilai seperti kejujuran, sportivitas, kegigihan, dan kegotong-royongan. Permainan tradisional juga dapat mengembangkan kreativitas anak, kognitif, afektif dan motorik. Contoh: permainan gobag sodor, pada permainan ini menonjolkan kerjasama dan kompetisi (keterampilan sosial), dakonan menonjolkan kemempuan untuk dapat mengembanngkan keterampilan kognitif dan melalui permainan engklek dapat mengembangkan keterampilan motorik dan keseimbangan.

Permainan tradisional mempunyai makna simbolis dibalik gerakan, ucapan, maupun alat-alat yang digunakan. Pesan-pesan tersebut bermanfaat bagi perkembangan kognitif, emosi, dan sosial anak sebagai persiapan/sarana belajar menuju kehidupan di masa dewasa. Pesatnya perkembangan elektronik, membuat posisi permainan tradisional nyaris tak dikenal. Memperhatikan hal tersebut perlu usaha-usaha dari berbagai pihak untuk mengkaji dan melestarikan keberadaannya melalui pembelajaran ulang pada generasi sekarang melalui proses modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi sekarang.

Comments (1) »

WEBOMETRICS DAN PLAGIAT KAMPUS

Penghargaan dunia terhadap pendidikan tinggi di Indonesia ini memang perlu mendapatkan apresiasi dari semua pihak. Namun, sebenarnya hal ini merupakan cambuk bagi dunia pendidikan kita yang masih dirundung masalah. Dengan kata lain, keterbukaan perguruan tinggi dalam publikasi karya ilmiah dan aksesibilitas website ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi, perguruan tinggi di Indonesia akan mudah go international, baik secara institusional maupun personal. Disisi lain, hal ini akan membongkar keburukan karya-karya civitas academika yang akhir-akhir ini banyak didapati sebagai hasil plagiat. Dalam logika umum, dengan keterbukaan publikasi melalui website kampus, akan sangat mudah bagi para para akademisi untuk melakukan personal dan institusional marketing di dunia. Penelitian dan tulisan akademisi yng berkualitas kemudian bisa diakses oleh siapapun di belahan bumi. Tidak mengenal professor, doctor atau mahasiswa sekalipun jika karyanya betul-betul berkualitas akan dibaca oleh scholar pada kampus-kampus terkenal di dunia. Sebaliknya keterbukaan publikasi via website ini pun bisa menjadi bumerang bagi perguruan tinggi jika karya ilmiah akademisinya terbukti tidak orisinil. Ke depan tuntutan dan masifikasi publikasi karya ilmiah online sangat memunghkinkan akan membongkar karya-karya plagiat yang dilakukan akademisi Indonesia. Jika semakin banyak didapati karya akademisi  Indonesia yang ternyata tidak orisinil atau plagiat, alih-alih membanggakan dunia perguruan tinggi di negeri ini, hal itu malah semakin memperburuk citra pendidikan kita.

Pendidikan world class university sebenarnya merupakan sebuah refleksi bagi pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi, untuk selalu memperbaiki kualitas sistem dan SDM yang ada. Ada satu problem cukup krusial di balik meningkatnya reputasi PT di Indonesia dimata dunia dalam bidang website. Yaitu, hingga saat ini system (software) deteksi plagiasi terhadap karya-karya akademik belum tersedia. Untuk kepentingan ini, sangat diperlukan adanya konsorsium perguruan tinggi di seluruh Indonesia guna merumuskan standar plagiasi.

Ketersediaan plagiarism software setidaknya dapat di orientasikan untuk membangun dan mentradisikan kejujuran akademis dalam rangka character building anak bangsa kedepan.

Leave a comment »

sekolah berstandar internasional

 “SBI JANGAN KEHILANGAN KEARIFAN LOKAL” .

Pondasi utama dalam membangun kualitas pendidikan adalah terletak pada sistem dan sumber daya yang berkualitas sehingga peserta didik tersebut akan mampu bersaing di dunia internasional.

Namun permasalahannya adalah pada SBI ini, kearifan lokalnya kurang diperhatikan. Padahal kearifan lokal ini sangat pentinng untuk diterapkan pada peserta didik. Karena kearifan lokal untuk menyiapkan peserta didik agar lebih peka terhadap lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya. Walaupun peserta didik harus bersaing di dunia internasional, namun satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu pemahaman terhadap budaya di negeri sendiri terutama pada budaya pengembangan bahasa indonesia. Karena pada sekolah berstandar internasional hampir semua bahasa pengantarnya dalam menyampaikan materi pelajaran menggunakan bahasa inggris. Sehingga pada sekolah ini siswa dituntut untuk mampu memahami dan menggunakan bahasa inggris dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Bahkan terkadang peserta didik juga harus berbicara dengan menggunakan bahasa inggris walaupun dengan teman sebayanya. Sehingga lama-lama bahasa indonesia mulai dilebur sedikit demi sedikit. Padahal untuk menciptakan generasi yang bermutu dan berkualitas maka pendidikan harus mampu mengembangkan dan mempertahankan kearifan lokalnya melalaui budaya terutama pelestarian terhaap bahasa indonesia. Karena walaupun pendidikannya berstandar internasional namun tetap penerapannya harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi di indonesia. Seperti pepatahTHINK GLOBALLY AND ACT LOCALLY, jadi walaupun kita berpikir secara mendunia, namun tetap aksi atau tindakan kita harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan dari daerah yang ada di sekitar kita. Sehingga kita tidak akan ketinggalan informasi namun, budaya dalam negeri juga tetap terlestarikan.

Leave a comment »

pendidikan hak semua

“BERPENDIDIKAN HAK SETIAP BANGSA”

Seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan di negeri ini belum semuanya dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Karena masalah biaya yang membuat mereka kesulitan dalam mengakses dunia pendidikan. Padahal jika kita melihat ke undang-undang dasar 1945 31 ayat 2 yaitu “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dalam undang-undang tersebut sudah jelas bahwa pemerintah juga wajib dalam membiayai pendidikan warganya. Namun, mengapa masih banyak warga yang belum bisa merasakan bangku pendidikan? Baca entri selengkapnya »

Leave a comment »